Selasa, 19 Mei 2009

Musik etnik Gamelan Jawa

Memasuki abad ke-20,seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekpresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan (sajian khusus untuk kaum Bangsawan) diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam. Raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam kasta martabat.

Seiring kemajuan jaman,tradisi musik gamelan tidak hanya menjadi pengisi acara-acara ritual.Tetapi sudah menjadi obyek wisata budaya yang mulai tersebar luas diseluruh dunia.Gamelan adalah alat music dalam pertunjukan wayang. Dalam pertunjukan wayang Jawa, alat music ini terdiri dari 15 jenis instrumen yang berbeda, kebanyakan terbuat dari perunggu dan berbagai macam perkusi. Suling, kendang, rebab,gong,kenong dan gambang adalah pengiring pertunjukan.Di Yogyakarta (Center Of Java), dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada masyarakat. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00.

Salah satu tempat di Yogyakarta (Center Of Java) dimana kamu bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Keraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, kamu bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, kamu bisa menuju bangsal keraton lain yang terletak lebih ke belakang.

Di pulau Jawa,gamelan menjadi musik pengiring dari acara wayang kulit,Tari Tradisional,Kuda Lumping,Wayang Orang dan masih banyak lagi yang lainya.

Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.

Download Javanees Gamelan here.Dont forget youre comment please.


Musik etnik Gamelan Bali

Pantai Sanur,Pantai Kuta,Pantai Kintamani,Bedugul dan masih banyak lagi obyek wisata pantai yang bisa kamu datangi.Belum lagi restoran yang menyjikan makanan khas Bali.Karena ke khasan inilah banyak orang menyebut Pulau Bali sebagai Paradise Island.

Selain menawarkan wisata pantai dan hutannya,Bali juga menawarkan obyek wisata seni dan budaya yang khas dan etnik.Tari Barong,tari Kecak,Monkey Dance,tari Keris selalu digelar disetiap tempat.

Hadirnya wisatawan mendorong seniman tari dan gamelan untuk menciptakan karya-karya sekuler yang setiap saat dapat dimainkan untuk hiburan wisatawan. Gamelan Kebyar yang spektakuler dan cemerlang muncul pada awal abad ke-20 dan dengan cepat menyebar dari Bali Utara ke seluruh wilayah Bali. Merespon gamelan Kebyar yang tengah digemari, seniman tari desa dari Tabanan, I Made Rio, dia menciptakan karya-karya unggul yang sekarang dikenal sekarang sebagai tari Kebyar Terompong dan Jago Tarung. Sementara interaksi seniman tari Bali dengan pelukis Jerman Walter Spier, membuahkan tari Kecak sekular yang kemudian dikenal dengan Monkey Dance.

Seni musik Bali menggunakan alat Gamelan yang sama dengan Gamelan Jawa.Yang membedakan antara Gamelan Bali dan Gamelan Jawa adalah Gamelan Bali berirama lebih cepat dan lebih keras seperti musik rock.Akan tetapi tetap tidak meninggalkan kelembutannya.Gamelan Jawa berirama lebih lembut.Seperti musik orkestra milik Betthoven.

Kalau kamu ingin menyaksikan berbagai pagelaran kesenian Bali,kamu bisa datang ke Garuda Wisnu Kencana (GWK).Ditempat ini kesenian Bali ditampilkan setiap hari.Kamu hanya perlu membeli tiket masuk Rp 40.000.

Pernah ke Bali? Ingin berkunjung lagi?atau belum pernah ke Bali?Tapi tidak punya uang yang cukup?Jangan khawatir,paling tidak kamu bisa merasakan suasana Pulau Bali walau hanya dengan mendengarkan Mp3 musik etnik Bali.

Download Balinees etnic music here.Youre comment please….



Seni music Dayak


Kekayaan Seni musik etnik di Indonesia tidak hanya didominasi oleh suku Jawa dan Bali saja.Suku Dayak in Borneo (Kalimantan Island) memiliki seni dan budaya yang tetap dijaga dan kian berkembang hingga sekarang.

Bila dilihat dari alat musik yang digunakan,musik etnik Dayak tidak lepas dari alat musik Gamelan.Hanya mengalami sedikit perubahan pada ritme dan suara.Jika dalam Gamelan Jawa,suara Gong nya lebih smooth dan mempunyai irama yang teratur.Sedangkan Gong Dayak memiliki suara yang lebih keras,kering dan menggelegar.Ini dikarenakan,Gong Dayak mempunyai body yang tipis dibanding Gong Jawa yang berbody lebih tebal.Hingga Gong Dayak menghasilkan suara yang keras dan terasa penuh kebebasan.

Tariannya pun tidak serumit tari jawa.Tari jawa terasa begitu lembut dengan nuansa-nuansa jaman kerajaan.Tapi tidak demikian dengan Tari Dayak.Nuansa yang terasa,tarian Dayak seolah membawa kita berada dalam hutan.Marasakan begitu dekat dengan alam.Iramanya menenangkan.


Apa lagi kalau terdengar suara petikan Sampe’/Sape’.Suasana pedalaman hutan semakin terasa.Sampe’/Sape’ adalah gitar tradisional suku Dayak dengan 3-4 senar.Dan Sampe’/Sape’ inilah yang membuat seni musik Dayak berbeda dengan suku lainya di Indonesia.

Kalau kamu traveling to Borneo/Kalimantan Island,khususnya Pontianak City –West Borneo.Kamu bisa singgah ke Taman Budaya Pontianak.Ahmad Yani street untuk mendapatkan informasi or menyaksikan tari dan musik Dayak secara a live.Biasanya di Taman Budaya inilah seni dan budaya Dayak sering ditampilkan.

Tidak hanya tari Dayak murni saja yang ditampilkan.Tapi kamu juga bisa menyaksikan tari kontemporer percampuran seni budaya Dayak,Melayu,Java and China karya dari para seniman lokal.Selain berkunjung ke Taman Budaya Pontianak,kamu juga bisa berkunjung ke Gedung Museum Pontianak.Karena letaknya bersebelahan dengan Taman Budaya Pontianak.

Jumat, 03 April 2009

Rick is turning himself into a zombie. So far, more than 24 hours of tattoos – costing over £4,075 Canadian – have got him halfway there and made him a minor celebrity on the internet, where people can’t decide if he’s a body modification visionary or mentally ill sicko.

Love body mods and tattoos? Take a peek at our Bizarre Body Art 2 book

Want real zombies? Visit our amazing Zombie Fest gallery

We caught up with Rick for an exclusive interview and photoshoot to see what life is like when you’re transforming yourself into the living dead.

What look are you trying to achieve with your tattoos?
They’re about the human body as a decomposing corpse – the art of a rotting cadaver. It’s also a tribute to horror movies, which I love.

Looking for love? Find someone weird and wonderful with Bizarre's Savage Hearts dating

What influenced your tattoos?
When I was a kid I was a big fan of the Teenage Mutant Ninja Turtles, and I wanted to be a ninja turtle and live in the sewers. But as I got older I fell in love with zombies and wanted to become one. Oh, and I love George A Romero’s Living Dead movies.

Anyway, the closest thing I could get to becoming a zombie was to get tattooed like one. I see my tattoos as celebrating the art of obscenity and the macabre.

Don't miss an issue of Bizarre - subscribe here

When did you decide you wanted to get your face and body tattooed?
I thought long and hard about what I really wanted, what my passion was. And I decided I wanted to be a fucking zombie. My first big move was getting my hands outlined as skeleton print. They say that once you get your hands tattooed it’s harder to find a job.

How do you feel about your tattoos now?
They’ve been a part of me forever – before I even got them done. They reveal how I feel on the inside. I’m so used to how I look now that I don’t see them anymore. It’s like if you met someone with purple hair – after ten minutes you’d think, “Oh yeah, they have purple hair. So what?”

Like Zombie Boy? You're going to love body-mod king, Pauly Unstoppable!

But it does look a little different to how I’d imagined. I expected some portions of my tattoos to look more bloody and gory. Probably because I’ve got an overactive imagination and I’d never be satisfied with the results.

What would you have changed?
I’d have a lot more blood in general, dripping and oozing everywhere. I’d have loved to have blood pouring out of my eyes and a few more bugs here and there. But it just didn’t happen like that.

Peer into the diseased minds of the Bizarre staff at the Bizarre Blogs

What do your friends think?
My friends think it’s cool. It’s punk rock, you know?

How about your mum?
Well, I don’t think this is what my mother had in mind for me. When I got my hands done it broke her heart. She said, “You’ve got your hands tattooed like a skeleton! You’re never going to get a decent job!” But once she saw I was determined about it she was like, “If that’s what you want to do, make sure you go all the way. Don’t just start it and then change your mind. If you’re going to be sure enough to tattoo your fucking face like that, then you’ve got to be sure enough to do the whole fucking thing.”

So she’s behind you now?
Yeah. At first, when it didn’t have the shading or anything, she was like, “You look like crap. You’re going to be a punk your whole life.” But now it’s starting to take shape and become more like an art piece, she gets it.

How do people react to your tattoos?
There’s all sorts of weird shit here in Montreal, so I kind of blend in with the culture. Some people come up to me and say, “Wow, nice tattoos.” Sometimes you get a smart-ass kid who yells “Hey, it’s Halloween!” Just about every day I get some kind of skeleton joke. The classic is “Why didn’t the skeleton cross the road? Because he didn’t have the guts.”

Do you worry about how you’re going to look when you’re older?
No, fuck it. Everybody ages – me too. Are you worried about what you’re going to look like when you’re 60? It’s just life – tattoos turn green. I joke that once the body suit’s done they’ll be so faded I’ll have to start again at the beginning.

So what other body modifications are you planning?
I still want to get my brain shaded in. I want to get it all nice and grey like hamburger meat. And then I want to get Frankenstein bolts sticking out of my head around the rim of where my scalp’s ‘cut off’.

And I’ve thought about getting my eyes blacked in. I’m thinking that in five years from now, if no one’s gone blind from it by then I’ll go and get my eyes tattooed black, so there’d just be big holes in my face.

As for tattoos, I’ve still got to get under my arms done, then I’ve got to finish the intestines and get a contour added to the demon on my chest. I’m going to get bones sticking out of my knees, my toes done in skeleton print, and have patches of muscle scattered around – with worms coming out of the wounds.

Have you ever thought about having the tip of your nose removed?
Yes, and I’ve seen it before on TV. This guy had a flesh-eating disease and he was able to get his nose cut off because they gave him a prosthetic replacement. I was so jealous. I wanted it so bad. If I get my eyes blacked in I’ll get my nose removed.

Would you have your ears removed?
Maybe just the one. I was thinking of having worms coming out of one ear and a spider’s web in the other. But I’m an extremist, so if I met someone who could remove my ear and get the right result, then that’d be cool as hell. If I saw someone walking around like that I’d shit myself.

Would you burn yourself with acid to get texture on your skin?
I don’t know. I’m not a pro. But it has nothing to do with pain. I like pushing the limits to see how much I can take. I’d get my tongue split, I’d get my teeth sharpened.

I wouldn’t cut off one of my fingers, because I want to play guitar. I’m not going to cut off my arms and legs to look cool. But there are no rules about how zombies look. My buddy has a tattoo where his throat’s slit and bugs are coming out with worms up the side. It looks fucking awesome.

What advice do you have for people who want the same kind of tattoos?
They’re fucking stupid and should get their own idea. You’ve got to be original. I hate copycats and idiots. But I’m up for the idea of more living deads. I think a whole crew of people who had their face tattooed as a skull would be awesome.

But you can’t rip off someone else’s personality. And I don’t want kids to go out there and ruin their lives because they think it’s cool – it’s got to be in you. You’ve got to know what you want. I sacrificed my whole future for this.

What effect has it had on your love life?
There are girls who dig it, but the kind of girls who dig it are usually trouble. Some people might look at you and think you’re mentally ill. They might do, but I’m not. I think I’m very on the ball.

There are a lot of people I meet who just don’t understand, but there really is nothing to understand. I’m realistic, sane and intelligent.

Is there any kind of body modification you wouldn’t have?
Cock-splitting. I’ve seen pictures of that and it’s not for me. But I’d tattoo my cock. I’m thinking of having reptile scales and cockroaches.

I’ve had different ideas that aren’t relevant to my body suit. One was quite sacrilegious. I thought about having my cock tattooed like a Cyclops Jesus ding-dong. There would be a crown of thorns around it, an eyeball and some scales. And there’d be a crucifix in the background, so my cock would be like Jesus on the cross. But in the end it just sounded completely wrong.

Do you think your life would be better or worse if you hadn’t had your tattoos done?
Actually, since having them done I’ve become a much happier and nicer person. Before, I hated pretty much everything and everybody. I just wanted to pass out in the gutter and swear at cars as they went by, shit like that. I wasn’t a happy person at all.

That’s why I got the skull tattooed on my face in the first place, I suppose – I wanted to fucking kill everybody. But then, as time went on, I started getting all this positive feedback – people would come up to me and say how cool they thought it looked. I started getting invited to parties and bars all the time. Strangers ask to have pictures taken with me.

I’ve been having so much fun with it that life has definitely changed for the better. I honestly wouldn’t change a thing... not that I have much choice in the matter.

How do you sum up your philosophy of life?
You’ve got to respect that everyone’s different and has to do what they’ve got to do. I can’t tell you what to do, you can’t tell me what to do – but we can still get along just great.

Kamis, 02 April 2009

The barbaric practice of footbinding in China began in the 10th century sometime during the Tang Dynasty (618-907) and ended over a thousand years later. Footbinding was practiced on young girls usually six years of age and younger. Feet were wrapped in tight bandages and broken so they couldn’t grow. Footbinding was generally practiced by wealthy families, as only wealthy families could afford to have the women of the house not at work. It was a sign of prestige, beauty and wealth.
Eventually, footbinding moved from wealthy city families to women in the countryside, where women realised they could marry into money by having these prized three inch feet. For centuries, women suffered terrible pain in the hopes of having a better future.

Zhou Guizhen, who is 86-years-old, shows one of her bound feet where the bones in the four small toes were broken and forced underneath the foot over a period of time, at her home in Liuyi village in China’s southern Yunnan Province, February 2007. Villages in China where women with bound feet survive are increasingly rare but the millennium-old practice nevertheless took almost four decades to eradicate after it was initially banned in 1911. Full story at Wired.

To bind feet, feet were first soaked in a warm bowl of herbs and animal blood, which caused the dead flesh to fall off. Toe nails were cut back as far as possible to prevent ingrown toenails and infection. Silk and cotton bandages were dipped in the solution and were wrapped tightly around the feet after the toes were broken. Four toes on each foot were broken and folded under. The big toe was left intact. Feet were often bound so tightly that even short distances were unable to be walked.
The bandages became tighter after drying. While drying, the toes were forced down and inward. Sometimes cuts were made in the sole of the feet to make the binding process easier. Most footbinding was done during the winter months, when it was thought the cold would numb the pain. The wrapping process was repeated every couple of days with fresh bandages. Each time, the bandages were pulled even tighter, causing excrutiating and long lasting pain.
In 1912, the Chinese government ordered the cessation of footbinding. Women were ordered to unwrap their feet. Failure to do so resulted in heavy fines and in some cases, death. When the Communists came into power in 1949, they too ordered a nation wide ban on footbinding. This was especially devastating to women with bound feet because most of them were forced to perform hard physical labor in the 1950’s.
According to the American author William Rossi, who wrote The Sex Life of the Foot and Shoe, 40 percent to 50 percent of Chinese women had bound feet in the 19th century. For the upper classes, the figure was almost 100 percent.


The ideal foot was three inches in length. Three inch feet were called golden lotuses. Feet that were between three and four inches in length were called silver lotuses.

Selasa, 10 Maret 2009

Salah satu atraksi dalam Festival Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua

Wisata Lembah Baliem


A. Selayang Pandang

Lembah Baliem, yang terletak di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, merupakan salah satu kawasan yang memiliki daya tarik bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Satu hal yang membuat Lembah Baliem terkenal adalah diselenggarakannya Festival Budaya Lembah Baliem, atau yang lebih dikenal dengan nama Festival Lembah Baliem.

Festival Lembah Baliem pertama kali digelar pada tahun 1989. Sebelum adanya festival ini, masyarakat di sekitar Lembah Baliem, yang terdiri dari Suku Dani, Suku Lani, dan Suku Yali, masih sering melakukan perang antar suku. Bagi mereka, selain sudah menjadi tradisi turun temurun, perang juga memiliki makna yang dalam. Perang bukan sekadar ajang adu kekuatan antarsuku, namun juga merupakan lambang kesuburan dan kesejahteraan. Menurut kepercayaan mereka, jika tidak dilakukan perang, jangan harap panen dan ternak babi akan berhasil.

Untuk menghindari jatuhnya korban dan dendam yang berlarut, sejak dua puluh tahun silam pemerintah memberlakukan larangan atas perang antar suku. Untuk mewadahi tradisi suku-suku di Papua ini, dibuatlah Festival Lembah Baliem oleh pemerintah, yang menyertakan pesta perang di dalamnya. Festival Lembah Baliem, berlangsung sekitar tiga hari dan diselenggarakan pada bulan Agustus. Salah satu alasan pesta ini diselenggarakan pada bulan tersebut adalah untuk memperingati hari raya kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada perkembangannya, tidak hanya ketiga suku penghuni Lembah Baliem saja yang mengikuti Festival Lembah Baliem, namun juga suku-suku lainnya yang tinggal di Kabupaten Jayawijaya dan sekitarnya.Pada tahun 2007 terdapat sekitar 40 suku yang mengikuti festival ini. Masing-masing suku ini menggunakan pakaian tradisional, lengkap dengan lukisan di wajah. Di samping itu, mereka juga membawa senjata perang seperti tombak, parang, panah, dan juga pernak pernik perang lainnya.
B. Keistimewaan

Pada Festival Lembah Baliem, atraksi perang antar suku dimulai dengan penentuan skenario pemicu perang. Pemicu perang ini dapat berupa penculikan warga, pembunuhan anak warga, maupun penyerbuan ladang yang baru dibuka. Adanya pemicu ini, menyebabkan suku lainnya harus `membalas dendam`, sehingga penyerbuan pun dilakukan. Sementara, pihak lawan akan bertahan, sehingga pertempuran pun berlangsung dengan seru.

Uniknya,atraksi perang ini tidak menjadikan balas dendam atau permusuhan sebagai tema. Tema yang diusung justru ungkapan yang bernilai positif, yakni Yogotak Hubuluk Motog Hanorogo (harapan akan hari esok yang harus lebih baik dari hari ini).

Atraksi tari perang antar suku ini memang menjadi atraksi utama dalam setiap penyelenggaraan Festival Lembah Baliem. Kendati demikian, banyak atraksi lain yang juga sangat menarik untuk ditonton para wisatawan, seperti pertunjukan Pikon atau alat musik tradisional. Lagu-lagu yang dimainkan dengan Pikon ini, biasanya mengisahkan tentang kehidupan manusia. Ada pula Karapan Babi yang juga menjadi salah satu atraksi menarik dan kerap menimbulkan keriuhan para pengunjung.

Selain atraksi-atraksi di atas, wisatawan juga dapat menyaksikan perlombaan panah, melempar sege (melempar tongkat ke target yang telah ditentukan), puradan (permainan menggulirkan roda dari anyaman rotan), dan sikoko (permainan melempar pion ke sasaran yang telah ditentukan). Perlombaan-perlombaan tersebut, selain diikuti oleh para peserta dari berbagai suku di Kabupaten Jayawiya, juga dapat diikuti oleh para wisatawan yang hadir saat festival.
C. Lokasi

Festival Lembah Baliem diselenggarakan di Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Indonesia.
D. Akses

Untuk dapat sampai ke Lembah Baliem, pengunjung harus melewati bandara utama Provinsi Papua, yakni Bandara Sentani. Untuk mencapai Bandara Sentani, pengunjung dapat mengaksesnya dengan menggunakan penerbangan dari Jakarta, Surabaya, ataupun Manado. Setibanya di Bandara Sentani, pengunjung dapat meneruskan perjalanan dengan pesawat jenis Hercules ataupun Twin Otter menuju Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya.
E. Harga Tiket

Untuk menyaksikan festival ini, wisatawan tidak dipungut biaya apapun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di sekitar Distrik Wamena, terdapat beberapa penginapan, bahkan di antaranya ada yang sudah berkelas internasional. Hal ini dikarenakan banyaknya turis mancanegara yang sangat tertarik menyaksikan Festival Lembah Baliem, serta menikmati keindahan alam Lembah Baliem sendiri.
Salah satu atraksi dalam Festival Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua







A. Selayang Pandang

Lembah Baliem, yang terletak di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, merupakan salah satu kawasan yang memiliki daya tarik bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Satu hal yang membuat Lembah Baliem terkenal adalah diselenggarakannya Festival Budaya Lembah Baliem, atau yang lebih dikenal dengan nama Festival Lembah Baliem.

Dalam catatan harian Kompas (8/8/2007), Festival Lembah Baliem pertama kali digelar pada tahun 1989. Sebelum adanya festival ini, masyarakat di sekitar Lembah Baliem, yang terdiri dari Suku Dani, Suku Lani, dan Suku Yali, masih sering melakukan perang antarsuku. Bagi mereka, selain sudah menjadi tradisi turun temurun, perang juga memiliki makna yang dalam. Perang bukan sekadar ajang adu kekuatan antarsuku, namun juga merupakan lambang kesuburan dan kesejahteraan. Menurut kepercayaan mereka, jika tidak dilakukan perang, jangan harap panen dan ternak babi akan berhasil.

Untuk menghindari jatuhnya korban dan dendam yang berlarut, sejak dua puluh tahun silam pemerintah memberlakukan larangan atas perang antarsuku. Untuk mewadahi tradisi suku-suku di Papua ini, dibuatlah Festival Lembah Baliem oleh pemerintah, yang menyertakan pesta perang di dalamnya. Festival Lembah Baliem, berlangsung sekitar tiga hari dan diselenggarakan pada bulan Agustus. Salah satu alasan pesta ini diselenggarakan pada bulan tersebut adalah untuk memperingati hari raya kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada perkembangannya, tidak hanya ketiga suku penghuni Lembah Baliem saja yang mengikuti Festival Lembah Baliem, namun juga suku-suku lainnya yang tinggal di Kabupaten Jayawijaya dan sekitarnya. Kompas (8/8/2007) menyebutkan bahwa pada tahun 2007 terdapat sekitar 40 suku yang mengikuti festival ini. Masing-masing suku ini menggunakan pakaian tradisional, lengkap dengan lukisan di wajah. Di samping itu, mereka juga membawa senjata perang seperti tombak, parang, panah, dan juga pernak pernik perang lainnya.
B. Keistimewaan

Pada Festival Lembah Baliem, atraksi perang antarsuku dimulai dengan penentuan skenario pemicu perang. Pemicu perang ini dapat berupa penculikan warga, pembunuhan anak warga, maupun penyerbuan ladang yang baru dibuka. Adanya pemicu ini, menyebabkan suku lainnya harus `membalas dendam`, sehingga penyerbuan pun dilakukan. Sementara, pihak lawan akan bertahan, sehingga pertempuran pun berlangsung dengan seru.

Uniknya, dalam www.cybertravel.cbn.net disebutkan bahwa atraksi perang ini tidak menjadikan balas dendam atau permusuhan sebagai tema. Tema yang diusung justru ungkapan yang bernilai positif, yakni Yogotak Hubuluk Motog Hanorogo (harapan akan hari esok yang harus lebih baik dari hari ini).

Atraksi tari perang antarsuku ini memang menjadi atraksi utama dalam setiap penyelenggaraan Festival Lembah Baliem. Kendati demikian, banyak atraksi lain yang juga sangat menarik untuk ditonton para wisatawan, seperti pertunjukan Pikon atau alat musik tradisional. Lagu-lagu yang dimainkan dengan Pikon ini, biasanya mengisahkan tentang kehidupan manusia. Ada pula Karapan Babi yang juga menjadi salah satu atraksi menarik dan kerap menimbulkan keriuhan para pengunjung.

Selain atraksi-atraksi di atas, wisatawan juga dapat menyaksikan perlombaan memanah, melempar sege (melempar tongkat ke target yang telah ditentukan), puradan (permainan menggulirkan roda dari anyaman rotan), dan sikoko (permainan melempar pion ke sasaran yang telah ditentukan). Perlombaan-perlombaan tersebut, selain diikuti oleh para peserta dari berbagai suku di Kabupaten Jayawiya, juga dapat diikuti oleh para wisatawan yang hadir saat festival.
C. Lokasi

Festival Lembah Baliem dielenggarakan di Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Indonesia.
D. Akses

Untuk dapat sampai ke Lembah Baliem, pengunjung harus melewati bandara utama Provinsi Papua, yakni Bandara Sentani. Untuk mencapai Bandara Sentani, pengunjung dapat mengaksesnya dengan menggunakan maspakai penerbangan dari Jakarta, Surabaya, ataupun Manado. Setibanya di Bandara Sentani, pengunjung dapat meneruskan perjalanan dengan pesawat jenis Hercules ataupun Twin Otter menuju Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya.
E. Harga Tiket

Untuk menyaksikan festival ini, wisatawan tidak dipungut biaya apapun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di sekitar Distrik Wamena, terdapat beberapa penginapan, bahkan di antaranya ada yang sudah berkelas internasional. Hal ini dikarenakan banyaknya turis mancanegara yang sangat tertarik menyaksikan Festival Lembah Baliem, serta menikmati keindahan alam Lembah Baliem sendiri.

Minggu, 08 Maret 2009


Snack Obama Bikin Resah Warga Bandung

BANDUNG (SuaraMedia) Perjuangan Pedagang Pasar dan Warung Tradisional (Pesat) Jabar mengaku resah dengan beredarnya snack Obama di pasar-pasar tradisional Kota Bandung. Untuk mengetahui penyebaran dan asal produsennya makanan ringan itu, Pesat bakal membentuk tim penelusuran.

"Dalam waktu dekat ini, Pesat berencana membentuk tim penulusuran. Intinya, kami ingin mengetahui sejauh mana peredarannya di Jawa Barat serta cikal bakal produksinya," jelas Ketua Pesat Usep Iskandar Wijaya kepada detikbandung, Jumat (6/3/2009).

Menurut Usep, pihaknya menginginkan tindakan tegas dari pihak terkait yang menangani persoalan ini. Kendati belum adanya kepastian resmi mengenai apakah bahaya atau tidaknya mengonsumsi snack Obama itu, Pesat tetap mengimbau pedagang untuk tidak menjualnya.

"Kami sudah berkoordinasi dengan perwakilan pasar di Bandung untuk menolak membeli dan menjual snack Obama. Dengan tidak mencantumkan masa kadaluarsa, jelas itu tidak layak dijual," terang Usep.

Usep menambahkan, saat ini di Kota Bandung pasar tradisional tercatat sebanyak 42. Sementara jumlah pedagangnya mencapai 8O ribu.

"Di setiap pasar, rata-rata yang menjual makanan ringan sekitar 50 hingga 100 pedagang. Namun, kami belum memiliki data para pedagang yang menjual snack Obama," ungkapnya




Ikan Gurame Berwajah Manusia


CHONGJU, KAMIS — Chongju, kota kecil yang terletak di Provinsi Chungcheong, Korea Selatan, saat ini tengah menjadi pusat perhatian dunia. Pasalnya, sebuah keajaiban dunia hewan ditemukan di tempat ini, yaitu seekor ikan berwajah manusia.

Mungkin banyak yang mengerutkan kening, tanda tidak percaya. Namun, hal ini nyata adanya. Ikan tersebut memiliki hidung, mata, dan bibir layaknya manusia. Dua garis tipis dan dua titik di bagian atas ikan mirip mata manusia. Diduga, ikan ini merupakan turunan peranakan dua spesies keluarga ikan gurame yang dikenal dengan nama ikan tangerine.

Koran-koran lokal di Korea Selatan berlomba-lomba mengambil foto terbaik ikan tersebut untuk ditampilkan di media masing-masing. Ikan ini memiliki panjang 80 cm dan lingkar badan 50 cm. Cukup besar untuk ukuran seekor ikan turunan gurame.

Ikan ini hidup dalam kolam kecil di belakang rumah seorang pria berusia 64 tahun. Ikan tersebut berada di sana sejak tahun 1986 silam. Namun, baru belakangan ini ikan berwajah manusia ini menarik perhatian khalayak.

“Ikan saya semakin mirip manusia beberapa tahun belakangan,” kata sang pria si empunya ikan yang tidak mau disebutkan namanya, seperti dikutip koran Inggris The Telegraph, Rabu (4/3).

Terdapat dua ekor ikan berwajah manusia di kolamnya. Sayang, keduanya sama-sama betina sehingga tidak mungkin mengawinkan mereka untuk mendapatkan keturunan aneh berikutnya. Toh tak semua orang percaya dengan keberadaan ikan berwajah manusia tersebut, salah satunya adalah Mike Guerin, seorang pemerhati ikan. Dalam situsnya, www.thejump.net, Guerin meragukan keaslian foto ikan berwajah manusia tersebut.

Menurutnya, cerita mengenai ikan berwajah manusia telah menjadi perbincangan hangat di internet beberapa waktu belakangan. Tak jarang diskusi dan berita tentang ikan tersebut disertai judul yang dicetak besar dan tebal "Ditemukan, Ikan Berwajah Manusia".

“Ini tidak asli. Hanya utak-atik komputer semata,” bantah Guerin dalam situsnya. Guerin menjelaskan, ikan berwajah manusia sesungguhnya permainan dalam game Sega. Di Jepang, permainan Sega atau Seaman diedarkan hampir sama dengan Blair Witch Project di Amerika.

Tengkorak dan fosil Seaman dipajang di museum dan toko-toko. Sebuah buku berupa jurnal Jean-Paul Gasse baru saja diterbitkan untuk mempropagandakan cerita tersebut. “Bagi saya, ini hanya keusilan mereka yang suka menyebarkan sampah dan kegegeran melalui online,” tutur Guerin.

Ini merupakan kedua kalinya ikan menjadi berita utama di Asia. November 2008 silam, sekawanan ikan di Changsha, Provinsi Hunan, China, menjadi perbincangan selama beberapa pekan karena ulahnya. Ikan-ikan itu mengerumuni seekor angsa yang mendarat di sebuah danau untuk mencari ikan sebagai mangsa.

Sekawanan ikan yang marah menggerombol bersama dan melawan sang bebek yang hendak memangsa mereka. Ikan-ikan itu seolah menegaskan, danau tersebut merupakan kekuasaan mereka. Si bebek akhirnya kalah dan memilih terbang dari danau tersebut. Cerita ini kemudian menggegerkan.